Kamis, 26 April 2012

JARINGAN ALE SEBAGAI PANDUAN KOMUNIKASI DARURAT

JARINGAN ALE SEBAGAI PANDUAN KOMUNIKASI DARURAT
Varuliantor Dear (YD0OXH)
 
               Lokasi negara Indonesia yang berada didaerah pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif (ring of fire), menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi terjadinya bencana alam setiap saat dan pada waktu-waktu yang tidak dapat diduga. Selain itu sebagai salah satu negara yang berkembang, penyebaran infrastruktur telekomunikasi di Indoensia masih belum merata hingga saat ini. Kebutuhan akan prasarana komunikasi yang mandiri dan murah tentu masih sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, baik pada saat kondisi normal maupun pada saat kondisi darurat yang dapat terjadi setiap saat.

 KOMUNIKASI RADIO HF / SSB DAN PEMILIHAN FREKUENSI KERJA
          Radio komunikasi HF atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai radio SSB merupakan salah satu perangkat telekomunikasi yang mengambil peran sebagai solusi dari tidak meratanya infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Selain dikarenakan sifatnya yang mandiri, radio SSB juga handal digunakan untuk berkomunikasi dengan jarak yang cukup jauh. Hal ini terwujud akibat adanya peranan lapisan ionosfer yang membantu perambatan gelombang radio HF/SSB tersebut. 

 
Gambar 1. Penggunaan Radio SSB di salah satu daerah perbatasan
Seiring dengan peran lapisan ionosfer yang membantu perambatan gelombang radio HF (propagasi angkasa),lapisan ionosfer juga memiliki sifat dinamis. Sifat dinamis tersebut merupakan sifat dari kondisi lapisan ionosfer yang berubah setiap saat. Dengan sifat tersebut, perambatan gelombang radio yang terjadi melalui lapisan ionosfer juga mengalami perubahan. Hal ini jelas dirasakan dalam implementasi secara nyata, bahwa sebuah frekuensi komunikasi radio HF tidak akan selalu dapat digunakan setiap waktu. Beberapa nilai frekuensi dapat digunakan di pagi hari, namun di sore hari komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan frekuensi yang sama tidak dapat dilakukan.  Frekuensi kerja radio HF propagasi angkasa sangat jelas  dipengaruhi oleh kondisi lapisan ionosfer yang dinamis.
Dengan kondisi ionosfer yang dinamis yang mempengaruhi perambatan gelombang radio HF, pemilihan atau penentuan frekuensi kerja komunikasi radio HF tentu perlu disesuaikan dengan kondisi lapisan ionosfer. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan prediksi frekuensi yang diperoleh dari perhitungan menggunakan data pengamatan kondisi lapisan ionosfer. Cara tersebut dikenal sebagai manajemen frekuensi komunikasi radio HF.
JARINGAN ALE UNTUK PANDUAN KOMUNIKASI DARURAT   
Selain  menggunakan manajemen frekuensi untuk penentuan frekuensi kerja atau waktu komunikasi, metoda lain yang saat ini mulai marak digunakan adalah dengan memanfaatkan sistem adaptif kedalam perangkat radio HF yang dikenal dengan sistem ALE (Automatic Link Establishment). Dalam sistem ALE, pemilihan kanal atau frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi dilakukan dengan cara mengevaluasi frekuensi-frekuensi yang dimiliki secara otomatis. Frekuensi yang dapat digunakan dipilih berdasarkan hasil analisa dari evaluasi yang dilakukan oleh sistem tersebut. Dengan sistem ini, informasi nilai frekuensi kerja yang dapat digunakan secara real time dapat diketahui.
Teknologi sistem ALE pada awalnya dipakai dalam bidang Militer. Namun, teknologi tersebut saat ini telah banyak digunakan untuk kepentingan umum yang salah satunya dimanfaatkan oleh komunitas amatir radio. Penerapan sistem ALE dikalangan amatir radio bahkan sudah terbentuk dalam suatu jaringan internasional yang didedikasikan untuk komunikasi pada saat kondisi darurat (Emcomm). Informasi yang dihasilkan dalam jaringan ALE tersebut bahkan telah terintegrasi dengan jaringan internet. Dengan sistem yang telah terintegrasi dengan jaringan internet, informasi yang dihasilkan dapat secara mudah diakses oleh masyarakat umum melalui website yang beralamat www.hflink.net.  Informasi dalam website tersebut diantaranya berisi informasi tentang lokasi stasiun dan frekuensi kerja yang dapat digunakan.
Salah satu pemanfaatan bagi masyarakat umum dari jaringan ALE tersebut adalah sebagai panduan untuk komunikasi saat kondisi darurat. Kendatipun radio yang digunakan oleh masyarakat umum bukanlah perangkat yang menerapkan sistem ALE, informasi dari jaringan ALE   berupa frekuensi kerja antar sirkuit stasiun ALE dapat digunakan sebagai rujukan frekuensi yang dapat digunakan. Sebagai contoh : Informasi keberhasilan menggunakan frekuensi pada rentang 18-20 MHz antara stasiun YD0OXH-YD0OXH7 yang berlokasi di Bandung dan Pontianak (Gambar 2) dapat digunakan untuk penentuan frekuensi kerja radio HF antar stasiun radio HF yang berada disekitar lokasi kedua stasiun tersebut. Komunikasi antara stasiun radio HF yang berada di sekitar bandung dengan stasiun yang berada di sekitar Pontianak dapat dilakukan dengan menggunakan frekuensi kerja rujukan yakni pada frekuensi disekitar 18-20 MHz.

 Gambar 2. Informasi frekuensi kerja yang dapat digunakan antar stasiun ALE
  Dengan prinsip metoda pemanfaatan tersebut, komunikasi radio HF yang merujuk pada informasi keberhasilan penggunaan frekuensi kerja antar stasiun ALE akan lebih ideal jika terdapat banyak stasiun ALE yang mewakili daerah-daerah diseluruh Indonesia. Namun, kendatipun belum terwujud, pemanfaatan yang mungkin dapat dilakukan dengan jumlah stasiun ALE yang masih terbatas dapat dilakukan dengan cara mempertimbangkan aspek jarak sirkuit stasiun ALE yang telah ada. Sebagai contoh, informasi nilai frekuensi dari sirkuit stasiun ALE  dengan jarak sekitar 750 Km(YD0OXH-YD0OXH7), dapat digunakan untuk komunikasi sirkuit radio HF yang memiliki jarak hampir serupa dan berada diwilayah yang berdekatan. Contohnya adalah dikawasan seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi. Secara kongkrit salah satu contoh sirkuit komunikasi radio yang dapat merujuk pada informasi tersebut adalah untuk komunikasi antara Lampung dengan Medan atau komunikasi antara Surabaya dengan Makasar.
Dengan menggunakan kedua metoda yang telah dijelaskan pada paragraf diatas, maka komunikasi darurat, khususnya yang memanfaatkan radio HF atau SSB, dapat menggunakan informasi yang diperoleh dari jaringan ALE yang tersedia sebagai panduan frekuensi kerja yang dipilih. Pemilihan frekuensi kerja komunikasi radio HF untuk kondisi darurat akan lebih efektif seiring dengan panduan frekuensi kerja yang diperoleh dari jaringan ALE.
Tantangan lain yang masih perlu diatasi adalah kondisi ideal jumlah stasiun ALE yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, LAPAN melalui Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi telah merencanakan program pembangunan stasiun ALE dibeberapa lokasi di Indonesia pada tahun 2012. Hal ini dilakukan guna menjawab kebutuhan akan informasi propagasi gelombang radio HF di Indonesia yang juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung komunikasi darurat yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Varuliantor Dear