JARINGAN ALE SEBAGAI PANDUAN KOMUNIKASI DARURAT
Varuliantor Dear (YD0OXH)
Lokasi
negara Indonesia yang berada didaerah pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif
(ring of fire), menyebabkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki potensi terjadinya bencana alam setiap saat
dan pada waktu-waktu yang tidak dapat diduga. Selain itu sebagai salah satu
negara yang berkembang, penyebaran infrastruktur telekomunikasi di Indoensia masih
belum merata hingga saat ini. Kebutuhan akan prasarana komunikasi yang mandiri
dan murah tentu masih sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, baik pada saat
kondisi normal maupun pada saat kondisi darurat yang dapat terjadi setiap saat.
KOMUNIKASI RADIO HF / SSB DAN PEMILIHAN
FREKUENSI KERJA
Radio
komunikasi HF atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai radio SSB merupakan
salah satu perangkat telekomunikasi yang mengambil peran sebagai solusi dari tidak
meratanya infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Selain dikarenakan
sifatnya yang mandiri, radio SSB juga handal digunakan untuk berkomunikasi dengan jarak yang cukup jauh. Hal ini terwujud
akibat adanya peranan lapisan ionosfer yang membantu perambatan gelombang radio
HF/SSB tersebut.
Gambar 1.
Penggunaan Radio SSB di salah satu daerah perbatasan
Seiring
dengan peran lapisan ionosfer yang membantu perambatan gelombang radio HF
(propagasi angkasa),lapisan ionosfer juga memiliki sifat dinamis. Sifat dinamis
tersebut merupakan sifat dari kondisi lapisan ionosfer yang berubah setiap
saat. Dengan sifat tersebut, perambatan gelombang radio yang terjadi melalui
lapisan ionosfer juga mengalami perubahan. Hal ini jelas dirasakan dalam
implementasi secara nyata, bahwa sebuah frekuensi komunikasi radio HF tidak akan
selalu dapat digunakan setiap waktu. Beberapa nilai frekuensi dapat digunakan di
pagi hari, namun di sore hari komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan
frekuensi yang sama tidak dapat dilakukan. Frekuensi kerja radio HF propagasi angkasa sangat
jelas dipengaruhi oleh kondisi lapisan
ionosfer yang dinamis.
Dengan
kondisi ionosfer yang dinamis yang mempengaruhi perambatan gelombang radio HF, pemilihan
atau penentuan frekuensi kerja komunikasi radio HF tentu perlu disesuaikan
dengan kondisi lapisan ionosfer. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan
memanfaatkan prediksi frekuensi yang diperoleh dari perhitungan menggunakan
data pengamatan kondisi lapisan ionosfer. Cara tersebut dikenal sebagai
manajemen frekuensi komunikasi radio HF.
JARINGAN ALE UNTUK PANDUAN KOMUNIKASI DARURAT
Selain menggunakan manajemen frekuensi untuk penentuan
frekuensi kerja atau waktu komunikasi, metoda lain yang saat ini mulai marak
digunakan adalah dengan memanfaatkan sistem adaptif kedalam perangkat radio HF yang
dikenal dengan sistem ALE (Automatic Link
Establishment). Dalam sistem ALE, pemilihan kanal atau frekuensi kerja dari
sebuah sirkuit komunikasi dilakukan dengan cara mengevaluasi
frekuensi-frekuensi yang dimiliki secara otomatis. Frekuensi yang dapat
digunakan dipilih berdasarkan hasil analisa dari evaluasi yang dilakukan oleh
sistem tersebut. Dengan sistem ini, informasi nilai frekuensi kerja yang dapat
digunakan secara real time dapat diketahui.
Teknologi sistem
ALE pada awalnya dipakai dalam bidang Militer. Namun, teknologi tersebut saat
ini telah banyak digunakan untuk kepentingan umum yang salah satunya
dimanfaatkan oleh komunitas amatir radio. Penerapan sistem ALE dikalangan
amatir radio bahkan sudah terbentuk dalam suatu jaringan internasional yang didedikasikan
untuk komunikasi pada saat kondisi darurat (Emcomm). Informasi yang dihasilkan
dalam jaringan ALE tersebut bahkan telah terintegrasi dengan jaringan internet.
Dengan sistem yang telah terintegrasi dengan jaringan internet, informasi yang
dihasilkan dapat secara mudah diakses oleh masyarakat umum melalui website yang
beralamat www.hflink.net. Informasi dalam website tersebut diantaranya
berisi informasi tentang lokasi stasiun dan frekuensi kerja yang dapat
digunakan.
Salah satu pemanfaatan bagi masyarakat umum dari
jaringan ALE tersebut adalah sebagai panduan untuk komunikasi saat kondisi
darurat. Kendatipun radio yang digunakan oleh masyarakat umum bukanlah perangkat
yang menerapkan sistem ALE, informasi dari jaringan ALE berupa
frekuensi kerja antar sirkuit stasiun ALE dapat digunakan sebagai rujukan
frekuensi yang dapat digunakan. Sebagai contoh : Informasi keberhasilan
menggunakan frekuensi pada rentang 18-20 MHz antara stasiun YD0OXH-YD0OXH7 yang
berlokasi di Bandung dan Pontianak (Gambar 2) dapat digunakan untuk penentuan
frekuensi kerja radio HF antar stasiun radio HF yang berada disekitar lokasi kedua
stasiun tersebut. Komunikasi antara stasiun radio HF yang berada di sekitar
bandung dengan stasiun yang berada di sekitar Pontianak dapat dilakukan dengan menggunakan
frekuensi kerja rujukan yakni pada frekuensi disekitar 18-20 MHz.
Gambar 2.
Informasi frekuensi kerja yang dapat digunakan antar stasiun ALE
Dengan prinsip metoda pemanfaatan tersebut, komunikasi
radio HF yang merujuk pada informasi keberhasilan penggunaan frekuensi kerja
antar stasiun ALE akan lebih ideal jika terdapat banyak stasiun ALE yang
mewakili daerah-daerah diseluruh Indonesia. Namun, kendatipun belum terwujud, pemanfaatan
yang mungkin dapat dilakukan dengan jumlah stasiun ALE yang masih terbatas dapat
dilakukan dengan cara mempertimbangkan aspek jarak sirkuit stasiun ALE yang
telah ada. Sebagai contoh, informasi nilai frekuensi dari sirkuit stasiun ALE dengan jarak sekitar 750 Km(YD0OXH-YD0OXH7),
dapat digunakan untuk komunikasi sirkuit radio HF yang memiliki jarak hampir
serupa dan berada diwilayah yang berdekatan. Contohnya adalah dikawasan seperti
Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi. Secara kongkrit salah satu
contoh sirkuit komunikasi radio yang dapat merujuk pada informasi tersebut
adalah untuk komunikasi antara Lampung dengan Medan atau komunikasi antara
Surabaya dengan Makasar.
Dengan
menggunakan kedua metoda yang telah dijelaskan pada paragraf diatas, maka
komunikasi darurat, khususnya yang memanfaatkan radio HF atau SSB, dapat
menggunakan informasi yang diperoleh dari jaringan ALE yang tersedia sebagai
panduan frekuensi kerja yang dipilih. Pemilihan frekuensi kerja komunikasi
radio HF untuk kondisi darurat akan lebih efektif seiring dengan panduan
frekuensi kerja yang diperoleh dari jaringan ALE.
Tantangan
lain yang masih perlu diatasi adalah kondisi ideal jumlah stasiun ALE yang
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, LAPAN melalui Bidang Ionosfer dan
Telekomunikasi telah merencanakan program pembangunan stasiun ALE dibeberapa
lokasi di Indonesia pada tahun 2012. Hal ini dilakukan guna menjawab kebutuhan
akan informasi propagasi gelombang radio HF di Indonesia yang juga dapat
dimanfaatkan untuk mendukung komunikasi darurat yang sewaktu-waktu dapat
terjadi. Varuliantor Dear
Tidak ada komentar:
Posting Komentar